Selasa, 23 Juni 2009

OBLIGASI

PENDAHULUAN
Obligasi menurut definisi konvensional adalah surat hutang yang dikeluarkan oleh perusahaan kepada investor dengan janji membayar bunga secara periodik selama periode tertentu serta membayar nilai nominalnya pada sa’at jatuh. Para investor akan mendapatkan return dalam bentuk suku bunga tertentu, yang besaranya sangat bervariasi dan sangat tergantung pada suasana bisnis emiten. Pemegang obligasi memiliki return tetap sesuai dengan kesepakatan serta nilai nominal pada saat jatuh tempo.
Berkaitan dengan itu, obligasi yang selama ini digunakan seperti yang diterangkan diatas mengandung unsur riba karena itu obligasi riba tersebut harus direkontruksi menjadi obligasi syariah. Instrumen investasi ini sangat efektif dan efesien dalam melakukan investasi karena itu stake holder menaruh perhatian hingga Dewan Syariah Nasional (DSN) mengeluarkan fatwa mengenai obligasi syariah. Legalitas ini sesunggunya juga merupakan tuntutan dari praktisi pebisnis muslim.
PENGERTIAN
Sebagaimana fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 32/DSN-MUI/IX/2002, obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Obligasi syariah bukan merupakan utang berbunga tetap, tetapi lebih merupakan penyerta dana yang didasarkan pada prinsip bagi hasil. Transaksinya bukan akad utang-piutang melainkan penyertaan. Obligasi sejenis ini lazim dinamakan muqaradhah bond, dimana muqaradhah merupakan nama lain dari mudharabah. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan atau emiten sebagai pengelola atau mudharib dan dibeli oleh investor atau shahib maa.
Dana yang terhimpun disalurkan untuk mengembangkan usaha lama atau pembangunan suatu unit baru yang benar-benar berbeda dari usaha lama. Bentuk alokasi dana yang khusus (specially dedicated) dalam syariah dikenal dengan istilah mudharabah muqayyadah. Atas penyertannya, investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara periodik.http://hendrakholid.net/blog/ - _ftn1
Kenapa harus obligasi syariah? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat dilihat dari beberapa perspektif:
1. perspektif pasar modal; dengan adanya obligasi syariah maka:
a) pengembangan pasar modal syariah secara lebih luas sebagai implikasi dari master plan pasar modal.
b) Pengembangan instrument-instrumen syariah dipasar modal baik pasar primer maupun skunder.
c) Bentuk pendanaan yang inovatif dan kompetitif sehingga semakin memperkaya pengembangan perodak yang ada dipasar modal.
d) Kebutuhan alternative instrument investasi berdasarkan syariah seiring berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah.
1. perspektif emiten; dengan adanya obligasi syariah maka:
a) mengembangkan akses pendanaan untuk masuk kedalam institusi keuangan non konvesianal.
b) Memperoleh sumbsr pendanaan yang kompetitif.
c) Memperoleh struktur pendanaan yang inovatif dan menguntungkan.
d) Memberikan alternative investasi kepada masyarakat pasar.
Berdasarkan uraian diatas, maka sekali lagi bisa dinyatakan dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya instusi-instusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pension syariah, reksa dana syariah, yang membutuhkan alternative penempatan investasi. Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari instusi-instusi syariah saja, tetapi juga berasal dari investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan dapat digunakan oleh siapapun, sesuai dengan falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bias memberi keuntungan konpetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian disitu. Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti jga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun investor syariah. Selain itu, srtuktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak adanya konvergensi berpendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang mempunyai komponen bunga ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternative yang dinamakan obligasi syariah.
Jenis-jenis obligasihttp://hendrakholid.net/blog/ - _ftn2
 Obligasi mudharabah
Dalam Fatwa No.33/DSN-MUI/X/2002 (lampiran 7) tentang obligasi syariah mudharabah, dinyatakan antara lain bahwa:
a. Obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah merupakan bagi hasil, margin atau fee serta membayar dana obligasi pada saat obligasi jatuh tempo.
b. Obligasi syariah mudhorobah adalah obligasi syariah yang berdasarkan akad mudhorobah dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no.7 tentang pembiayaan mudhorobah.
c. Obligasi mudhorobah emiten sebagai mudharib (pengelola modal), sedangkan pemegang obligasi syariah sebagai sahibul mall (pemodal).
d. Jenis usaha emiten tidak boleh bertebtangan dengan prinsip syariah.
e. Nisbah keuntungan dinyatakan dalam akad.
f. Apabila emiten lalai atau melanggar perjanjian, emiten wajib menjamin pengmbilan dana dan pemodal dapat meminta emiten membuat surat pengakuan hutang.
g. Kepemilikan obligasi syariah dapat dipindah tangankan selama disepakati dalam akad.
 Obligasi syariah ijarah
Fatwa DSN No.41/DSN-MUI/III/2004 menyatakan obligasi syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
Struktur Obligasi Syariahhttp://hendrakholid.net/blog/ - _ftn3
Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindar dari riba. Berdasarkan dari pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:
1. Bagi hasil berdasarkan akad Mudhorobah, moqorodhoh, Qiradh atau Musyarakah. Karena akad mudhorobah atau musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi seperti ini akan memberikan return dengan menggunakan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagi hasilkan.
2. Margin/fee berdasarkan akad murabahah atau salam atau istishna atau ijarahsebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan faxid return.
Dalam investasi pada pasar modal syariah obligasi sering dinamakan dengan sukuk. Sementara sukuk adalah kekayaan pendukung, pendapatan yang stabil, dapat diperdagangkan dan sertifikat kepercayaan yang sesuai dengan syariah. Pihak yang mengeluarkan sukuk dapat berasal dari institusi pemerintah, perusahaan swasta, lembaga keuangan maupun otoritas moneter
Secara etimologi sukuk berasal dari bahasa arab yaitu ( الصك - ج - صكوك ) yang memiliki arti “dokumen”, piagam atau akte. Secara terminology sukuk merupakan sertifikat dengan nilai yang sama yang mewakili bagian kepemilikan yang sepenuhnya terhadap asset yang tangible, manfa’at dan jasa; kepemilikan dari asset suatu proyek aktivitas investasi.
Pada prisipnya sukuk dan obligasi syariah merupakan surat berharga sebagai instrument investasi yang diterbitkan berdasarkan suatu transaksi atau aqad syariah yang melandasinya. Namun demikian dari definisi obligasi terkesan Dewan Syariah Nasional menyamakan antara obligasi dengan sukuk. Padahal obligasi sebenarnya adalah surat hutang; sebelum disyariahkan, sementara sukuk adalah sertifikat kepemilikan sebagian atau lebih terhadap suatu asset usaha.
Dalam istilah penggunaan dana-dana yang dimobilisasi oleh institusi keuangan, berikut ini merupakan kategori dari sukuk: sukuk mudharabah, sukuk musyarakah, sukuk ijarah, sukuk salam, sukuk istisna’ dan sukuk murabahah.http://hendrakholid.net/blog/ - _ftn4
a. Sukuk mudharabah. Sertifikat yang mewakili proyek atau kegiatan yang dikelola berdasarkan prinsip mudarabah dengan menunjuk partner atau pihak lain sebagai mudarib untuk manajemen bisnis.
b. Sukuk musyarakah. Sertifikat kepemilikan yang permanen, yang dimilki oleh sebuah perusahaan maupun unit bisnis dengan pengawasan dari pihak managemen.
c. Sukuk ijarah. Sekuritas yang mewakili kepemilikan asset yang keberadaanya jelas dan diketahui, yang melekat pada suatu kontrak sewa beli (lease), sewa dimana pembayaranan return pada pemegang sukuk.
d. Sukuk istisna’. Kepemilikan penuh dari bagian yang dibangun segera dipindahkan kepada pembeli dengan harga jual yang ditunda yang secara normal tidak hanya menutupi biaya pembangunan tetapi juga keuntungan yang dapat disahkan, termasuk hal-hal yang lain, biaya pengikatan dana untuk jangka waktu periode pembayaran kembali.
e. Sukuk salam. Sertifikat lunas pemayaran komoditi ini tidak dapat diperdagangkan.
f. Sukuk murabahah. Surat berharga yang mewakili obligasi moneter, yang dikeluarkan untuk transksi penjualan kredit oleh bank, tidak dapat menciptakn instrument yang dapat diperjualbelikan.
g. Sukuk poirtofolio gabungan. Bank dapat membuat sekuritas gabungan dari kontrak musyarakah, ijarah dan beberapa murabahah, salam, istisna’, dan ju’alah (kontrak untuyk melaksanakan tugas tertentu dengan menetapkan pembayaran pada periode tertentu).
Hampir tidak ada perbedaan antara Obligasi dengan sukuk, kedua-duanya memakai aqad dalam fiqh seperti mudharabah, musyarakah, murabahah, istisna’ dan ijarah. Namun sukuk merupakan karakter aslinya sebagai sertifikat yang diperdagangkan sementara obligasi memakai sandaran aqad seperti di atas setelah dire-struktusasi dari obligasi konvensional sebagai surat hutang. Penyandaran ini sah-sah saja dilakukan untuk menghindari yang haram, akan tetapi kenapa masih harus memakai obligasi padahal untuk instrument yang seperti obligasi syariah itu juga tersedia dalam islam, kenapa tidak secara tegas mengantinya dengan sukuk yang sudah jelas turunanya dari Islam.
Perbedaan Obligasi Syariah dan Konvensional
Keterangan Obligasi Syariah Obligasi konvensional
Harga Penawaran 100% 100%
Jatuh tempo 5 tahun
Pokok Obligasi Saat jatuh Tempo 100% 100%
Pendapatan Bagi hasil Bunga
Return 15.5-16% indikatif 15,5-16 tetap
Rating AA+ AA+

Dalam harga penawaran, jatuh tempo, pokok obligasi saat jatuh tempo, dan rating antara obligasi syariah dan konvensional tidak ada bedanya. Perbedaan terdapat pada pendapatan dan return. Perbedaan kedua obligasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Namun Dalam obligasi syariah lebih kompetitif dibanding obligasi konvensional, sebab :
1) Kemungkinan perolehan dari bagi hasil pendapatan lebih tinggi daripada obligasi konvensional yang berbasis bunga.
2) Obligasi syariah aman karna untuk membiayai proyek prospektif.
3) Bila menggalami kerugian (diluar kontrol), investor tetap memperoleh aktiva.
4) Terobosan paradigma, bukan lagi surat utang, tetapi surat investasi.http://hendrakholid.net/blog/ - _ftn5
Problemetika dalam prespektif Islam
Obligasi dalam definisi konvensional adalah surat hutang, maka meskipun telah direstrukturisasi seperti yang telah diterangkan di atas namun tetap ia merupakan dasarnya adalah surat hutang. Maka kami tidak hendak mengatakan bahwa obligasi syariah - yang telah menghilangkan riba dan konsekwensi lain yang menyebabkan ia haram lewat rekontruksisasi itu masih haram. Akan tetapi hanya ingin menerangkan bahwa sesungguhnya pemakaian obligasi syariah suatu hal yang gegabah karena kita memiliki instrumen lain yang murni, tidak perlu “disamak” seperti obligasi apalagi direkontruksirisasi. Sukuk ini merupakan sertifikat kepemilikan terhadap sebagian aset dalam suatu usaha. Kepemilikan ini dapat disandarkan dengan aqad mudharabah, musyarakah, ijarah, istisna’ dan sebagainya. Sukuk sudah jelas tidak ada yang perlu dipertentangkan. Lantas, obligasi yang dasar-dasarnya adalah surat hutang bagaimana mau dijelaskan ketika mengadopsi “sembarang” dan menyandarkan kebolehanya menurut syariah kepada aqad-aqad yang terkesan dipaksakan, hanya aqad murabahah yang memungkinkan untuk digunakan. Bagaimana hutang itu digabung dengan syarat-syarat lain seperti pembangian hasil atau penerimaan fee. Bukankah hutang memiliki aturan “main”nya sendiri seperti qadh yang tidak memungut apapun. Bahwa hukum berhutang itu mubah dan juga bisa sunat tergantung situasi sedangkan membayarnya adalah wajib. Wajib bagi yang mampu membayar. Sebagaimana dalam hadist Abi Hurairah:
عن ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: مطلق الغنىِّ ظُلْمٌ وإذ أتبع أحدكم على مالىءٍ فليتبع (متفق عليه)
“Penunda-nundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu adalah suatu kedhaliman” (Imam Bukhari: 1987: no, 2270). Dalam hadist yang lain diterangkan bahwa “Pengemplangan oleh orang berada menghalalkan pencercaan nama baiknya dan pengenaan hukuman” (Imam Bukhari: 1987: no, 2271). Bagi debitur yang belum mampu membayar tidak bisa dipaksakan dengan cara apapun apa lagi menjatuhkan denda seperti tambahan biaya, hal ini jelas-jelas riba. Bagi kreditur dianjurkan untuk berlapang dan bersabar sehingga kreditur mampu membayarnya. Demikian dijelaskan dalam al-Qur’an, hadist dan fiqh. Dari hadist di atas dapat dijelaskan bahwa bagi debitur yang mengemplang dapat dijatuhkan denda seperti Iqab (hukuman) kurungan dapat dijatuhkan kepada debitur ini. Pendapat ini tidak diperselisihkan.
Tantangan obligasi syariah
Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tidak sedikit. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan system bagi hasil maupun system syariah lainnya, padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel golongan terbesar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk memulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya dideposito yang berjangka pendek.
Tantangan berikut menyangkut opportunity cost yang secara sederhana ditejermahkan sebagai “second best choice”. Langsung atau tidak langsung ada perbandingan atas pilihan yang ada karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi yang berdasarkan system bagi hasil ini akan menghadapi ini.
Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudhorobah ditawarkan, emiten membandingkannya dengan suku bunga pinjaman sementara investor (investor-investor konvensional). Karena system bagihasil ini tidak menawarkan “fixed-predetermined return”, hasilnya bisa berflukturasi.
Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberikan tingkat kupon 20%, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa kemahalan karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah.
Disaat lain, obligasi syariah memberi kupon hanya 12%, maka investor akan senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan seterfikat bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya, memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapat ini menjadi salah satu risiko bagi investor syariah.
Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan invertor obligasi dengan bunga mengambang. Bedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan keadilan.
Tantangan lain menyangkut perdagangan obligasi syariah dipasar skunder yang mengemuka kepentingannnya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor yang buy and hold memang akan membuat pasar sekundernya kurang likuid.
Suksesnya sebush pasar dan instrumen keuangan, baik syariah maupun yang lainnya, akan tergantung pada factor kepercayaan atas system dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut.
Dengan kondisi yang telah diuraikan diatas, masa depan obligasi syariah masih dapat dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya.
Aplikasi umum obligasi berbasis syariah:
Obligasi syariah pada prinsipnya tidak jauh berbeda dengan oblogasi konvensional, untuk lebih jelasnya dapat dilihat gambar dibawah ini:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar